Cara kerja sistem politik
2. Cara Kerja Sistem Politik
Cara kerja sistem politik dapat digambarkan bermula dari proses politik dengan masuknya input, input yang berupa kepentingan diartikulasikan atau dinyatakan oleh kelompok kepentingan dan diagregasikan atau dipadukan oleh partai politik sehingga kepentingan-kepentingan yang khusus itu menjadi usul kebijakan yang lebih umum, dan selanjutnya dimasukkan dalam proses pembuatan kebijakan yang dilakukan oleh badan legislatif dan eksekutif. Tahap perubahan input menjadi output (kebijakan) ini disebut tahap konversi. Tahap pembuatan kebijakan ini merupakan inti dari keseluruhan proses politik. Kebijakan ini kemudian dilaksanakan oleh birokrasi. Untuk menjamin kebijakan itu dilaksanakan secara sungguh-sungguh sehingga menjadi kenyataan dijamin oleh adanya fungsi penghakiman yang dijalankan oleh badan peradilan.
Dengan kata lain secara ringkas dapat digambarkan bahwa kerja sistem politik dari input berupa tuntutan kepentingan diubah menjadi output berupa kebijakan, yang selanjutnya melalui umpan balik, masuk kembali ke dalam sistem politik dalam ujud tuntutan kepentingan baru, dan demikian selanjutnya.
3. Infra Struktur dan Supra Struktur Politik di Indonesia
Dasar negara Indonesia adalah Pancasila dan UUD 1945 yang merupakan produk hasil musyawarah para pendiri negara/tokoh-tokoh bangsa kita dari berbagai ras, suku, aliran, dan latar belakang sosial-ekonomi, dan pendidikan yang berbeda seperti yang terlihat pada sidang-sidang BPUPKII dan PPKI. Musyawarah itu dilaksanakan dalam suasana terbuka, saling berdebat/tukar pikiran, berdialog, hangat, tajam/kritis, tetapi tetap dikendalikan oleh rasa tanggung jawab untuk mencari kebenaran bersama sehingga keputusan bersama pengambilan (konsensus) dapat dicapai. Berdebat dalam musyawarah penting sebagai dasar keputusan bersama, jika hal ini tidak ada berarti keputusan yang diambil bersifat dipaksakan dan keadaan seperti ini berlaku dalam sistem politik otoriter/totaliter. Debat kusir atau debat berkepanjangan tanpa arah/tujuan maupun bersitegang menganggap hanya pandangannya yang paling benar dapat menimbulkan anarkisme. Hal ini dapat membahayakan keutuhan kehidupan bersama.
Keinginan para pendiri/tokoh bangsa, agar bangsa kita mempraktikkan konsep atau mengamalkan nilai musyawarah-mufakat, yang terdapat dalam sila keempat dari Pancasila, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” (Alfian, 1993). Rumusan sila keempat ini, secara jelas menunjukkan negara Indonesia menganut sistem demokrasi. Hal ini dapat dipahami dari definisi kerakyatan yang dikemukakan Notonagoro ahli filsafat Pancasila terkemuka Indonesia (dalam Mubyarto, 2004) bahwa kerakyatan dari sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijakan dalam permusyawaratan/perwakilan adalah kebebasan dan kekuasaan rakyat, sebagai pendukung kekuasaan (demokrasi politik) dan pendukung kepentingan fungsional (demokrasi fungsional) dalam lapangan kenegaraan atas dasar tritunggal “negara dari rakyat, bagi rakyat, dan oleh rakyat”.
Di samping itu, masih menurut Notonagoro sila keempat harus dipahami dalam susunan Pancasila. “Susunan Pancasila adalah hirarkis dan mempunyai bentuk piramida”. Dengan susunan yang demikian, maka antara lima sila ada hubungan yang mengikat antara sila satu dengan yang lain, sehingga Pancasila merupakan suatu kesatuan yang bulat. Jadi kalau masing-masing sila terpisah satu sama lain, tidak ada hubungan yang mengikat maka dapat diartikan dalam bermacam-macam maksud, sehingga sebenarnya lalu sama saja dengan tidak ada Pancasila. Dalam susunan hirarkis dan piramida , maka Ketuhanan Yang Maha Esa adalah “sebab yang pertama” (causa prima) sehingga menjadi basis daripada kemanusiaan, persatuan Indonesia, kerakyatan dan keadilan sosial, sehingga tiap-tiap sila di dalamnya mengandung sila yang lainnya.
Dengan demikian setiap proses politik dalam kerangka sistem politik demokrasi Pancasila terutama dalam perumusan, pembuatan, pelaksanaan dan penegakkan keputusan politik bersifat religius, menjunjung tinggi martabat manusia (hak asasi manusia), memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa (Bhineka Tunggal Ika), dan untuk meningkatkan kesejahteraan umum/masyarakat. Kemudian penerapan sistem politik demokrasi Pancasila dalam kehidupan bernegara didasarkan pada konstitusi (UUD 1945). Sebagaimana hal ini dinyatakan dalam UUD 1945 pasca amandemen. Yaitu dalam Bab I Bentuk dan Kedaulatan, Pasal 1:
1) Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik
2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar.
3) Negara Indonesia adalah negara hukum
Cara kerja sistem politik dapat digambarkan bermula dari proses politik dengan masuknya input, input yang berupa kepentingan diartikulasikan atau dinyatakan oleh kelompok kepentingan dan diagregasikan atau dipadukan oleh partai politik sehingga kepentingan-kepentingan yang khusus itu menjadi usul kebijakan yang lebih umum, dan selanjutnya dimasukkan dalam proses pembuatan kebijakan yang dilakukan oleh badan legislatif dan eksekutif. Tahap perubahan input menjadi output (kebijakan) ini disebut tahap konversi. Tahap pembuatan kebijakan ini merupakan inti dari keseluruhan proses politik. Kebijakan ini kemudian dilaksanakan oleh birokrasi. Untuk menjamin kebijakan itu dilaksanakan secara sungguh-sungguh sehingga menjadi kenyataan dijamin oleh adanya fungsi penghakiman yang dijalankan oleh badan peradilan.
Dengan kata lain secara ringkas dapat digambarkan bahwa kerja sistem politik dari input berupa tuntutan kepentingan diubah menjadi output berupa kebijakan, yang selanjutnya melalui umpan balik, masuk kembali ke dalam sistem politik dalam ujud tuntutan kepentingan baru, dan demikian selanjutnya.
3. Infra Struktur dan Supra Struktur Politik di Indonesia
Dasar negara Indonesia adalah Pancasila dan UUD 1945 yang merupakan produk hasil musyawarah para pendiri negara/tokoh-tokoh bangsa kita dari berbagai ras, suku, aliran, dan latar belakang sosial-ekonomi, dan pendidikan yang berbeda seperti yang terlihat pada sidang-sidang BPUPKII dan PPKI. Musyawarah itu dilaksanakan dalam suasana terbuka, saling berdebat/tukar pikiran, berdialog, hangat, tajam/kritis, tetapi tetap dikendalikan oleh rasa tanggung jawab untuk mencari kebenaran bersama sehingga keputusan bersama pengambilan (konsensus) dapat dicapai. Berdebat dalam musyawarah penting sebagai dasar keputusan bersama, jika hal ini tidak ada berarti keputusan yang diambil bersifat dipaksakan dan keadaan seperti ini berlaku dalam sistem politik otoriter/totaliter. Debat kusir atau debat berkepanjangan tanpa arah/tujuan maupun bersitegang menganggap hanya pandangannya yang paling benar dapat menimbulkan anarkisme. Hal ini dapat membahayakan keutuhan kehidupan bersama.
Keinginan para pendiri/tokoh bangsa, agar bangsa kita mempraktikkan konsep atau mengamalkan nilai musyawarah-mufakat, yang terdapat dalam sila keempat dari Pancasila, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” (Alfian, 1993). Rumusan sila keempat ini, secara jelas menunjukkan negara Indonesia menganut sistem demokrasi. Hal ini dapat dipahami dari definisi kerakyatan yang dikemukakan Notonagoro ahli filsafat Pancasila terkemuka Indonesia (dalam Mubyarto, 2004) bahwa kerakyatan dari sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijakan dalam permusyawaratan/perwakilan adalah kebebasan dan kekuasaan rakyat, sebagai pendukung kekuasaan (demokrasi politik) dan pendukung kepentingan fungsional (demokrasi fungsional) dalam lapangan kenegaraan atas dasar tritunggal “negara dari rakyat, bagi rakyat, dan oleh rakyat”.
Di samping itu, masih menurut Notonagoro sila keempat harus dipahami dalam susunan Pancasila. “Susunan Pancasila adalah hirarkis dan mempunyai bentuk piramida”. Dengan susunan yang demikian, maka antara lima sila ada hubungan yang mengikat antara sila satu dengan yang lain, sehingga Pancasila merupakan suatu kesatuan yang bulat. Jadi kalau masing-masing sila terpisah satu sama lain, tidak ada hubungan yang mengikat maka dapat diartikan dalam bermacam-macam maksud, sehingga sebenarnya lalu sama saja dengan tidak ada Pancasila. Dalam susunan hirarkis dan piramida , maka Ketuhanan Yang Maha Esa adalah “sebab yang pertama” (causa prima) sehingga menjadi basis daripada kemanusiaan, persatuan Indonesia, kerakyatan dan keadilan sosial, sehingga tiap-tiap sila di dalamnya mengandung sila yang lainnya.
Dengan demikian setiap proses politik dalam kerangka sistem politik demokrasi Pancasila terutama dalam perumusan, pembuatan, pelaksanaan dan penegakkan keputusan politik bersifat religius, menjunjung tinggi martabat manusia (hak asasi manusia), memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa (Bhineka Tunggal Ika), dan untuk meningkatkan kesejahteraan umum/masyarakat. Kemudian penerapan sistem politik demokrasi Pancasila dalam kehidupan bernegara didasarkan pada konstitusi (UUD 1945). Sebagaimana hal ini dinyatakan dalam UUD 1945 pasca amandemen. Yaitu dalam Bab I Bentuk dan Kedaulatan, Pasal 1:
1) Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik
2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar.
3) Negara Indonesia adalah negara hukum
Komentar
Posting Komentar